Secarik
Kertas Usang
Rintik air hujan mulai berjatuhan.
Menghapuskan jejak-jejak manusia di jalanan. Burung yang sedari tadi bernyanyi
pun memilih untuk masuk ke dalam sangkar. Berkumpul bersama dengan sang anak
dan berbagi kebahagiaan. Aku tersenyum walaupun hati ini merasa iba, burung
saja bahagia, mengapa aku tidak ? Aku pun melihat suasana di sekilingku, masih
sama seperti hari-hari sebelumnya, tak ada yang berubah. Tetaplah senyap, sepi,
dan tak ada seorang pun. Hanya rerumputan hijau dan bunga-bunga yang selalu
menemani. Mengharapkan kedatangan seseorang untuk berbagi canda dan tawa
denganku di sini.
Udara dingin semakin terasa menusuk
tulang. Matahari pun mulai beristirahat setelah lelah menerangi bumi seharian.
Namun, seorang wanita muda terlihat dari kejauhan. Menerobos rintik hujan yang
kian deras menyapu jalanan. Siapakah gerangan ? Mengapa ia berlarian tak
menentu layaknya dikejar waktu ? Wanita itu semakin dekat. Tampak air matanya
keluar meskipun ditengah derasnya hujan. Ia menghampiriku dan terduduk lemas di
dekatku, memelukku. Memberikan serangkaian bunga mawar yang begitu indah. Isak
tangisnya kian terdengar. Ia pun mengeluarkan sebuah kertas lantas membacanya. Di
dekatnya, aku tak tau apa yang harus kulakukan. Aku hanya terdiam.
Dear
Khaira,
Hampir tiga tahun lamanya
kita bersama. Kaulah teman yang selalu menemaniku tatkala sendiri, menghiburku
tatkala sedih, dan siap mengulurkan tanganmu tatkala aku terjatuh. Kaulah yang
membangkitkan semangat ini untuk menggapai segala mimpi. Namun waktu berkata
lain. Semakin lama kau tak pernah menganggapku ada, bahkan disaat aku
dihadapanmu. Aku hanya ingin menjadi seorang sahabat yang baik untukmu. Aku
sangat ingin membantumu. Mendengarkan segala ceritamu. Tetapi, mungkin kau
terlalu nyaman dengannya (Rafi’). Sehingga kau tak lagi membutuhkanku. Juga terlalu
meyibukkan diri dalam pekerjaan atau entah itu apa. Aku sangat merasakan
perubahan yang terjadi padamu. Kau bukanlah Khaira yang kukenal. Kau lebih
mementingkan untuk pergi bersamanya, bercanda dengannya, dan melakukan segala
sesuatu bersamanya. Bahkan kau tak pernah lagi menghubungiku sejak dekat
dengannya. Khaira, apakah dia yang membuatmu berubah ?
Tepat tanggal 07 Agustus 2024 kau
bertambah usia. Kau tampak bahagia di hari itu. Orang-orang menyalamimu dan
memberikan ucapkan selamat. Di sisi lain, hati ini sungguh tersayat. Kau selalu
mendapatkan apa yang kau inginkan. Mempunyai banyak kawan untuk berbagi
keceriaan. Banyak orang yang peduli terhadapmu, bahkan di hari ulang tahunmu.
Tidak seperti diriku, sendiri, hampa, dan tak punya apa-apa. Khaira, aku selalu
ingin membuatmu bahagia, bahkan aku rela menghabiskan uangku untuk membuat
kejutan itu untukmu. Kau tau ? Aku sangat merindukanmu. Aku sangat kecewa
mengapa kau tak ada di hari ulang tahunku waktu itu. Aku hanya menginginkan
kedatanganmu Khai. Mungkin itulah ulang tahunku yang terakhir saat aku
bersamamu. Tapi apa yang kuperoleh ? Bahkan kau hanya mengucapkan selamat tahun
padaku melalui dia. Bodoh. Aku benci itu Khai. Aku juga bosan akan celotehmu
yang selalu mengganggap dirimu buruk. Kau yang selalu ingin seperti mereka
(teman-teman), kau yang ingin memiliki seperti apa yang mereka miliki, dan kau
yang tega berprasangka buruk padaku ketika aku dekat dengan dia padahal tak
pernah ada apa-apa. Kamu tau ? Itu pula yang membuatku benci terhadapmu. Kapan
kamu akan sadar Khai ? Perasaan ini tidak bisa dibohongi dan aku telah menahan
semuanya.
Dengan tulian ini, ku harap kau akan
mengerti mengapa selama ini aku membiarkanmu seorang diri. Tak pernah
mengajakmu bicara ataupun tertawa seperti dahulu. Aku hanya ingin kau
menganggapku sebagai sahabatmu. Aku iri melihat kehidupanmu dan aku hanya ingin
kau mensyukuri itu. Selamat atas kelulusanmu.
Orang yang sangat merindukanmu.
Freya
“Maafkan aku
Frey, aku tak bisa menjadi sahabat yang baik untukmu. Aku terlalu menuruti hawa
nafsuku. Sekarang aku sadar, bahwa dirimu jauh lebih penting darinya. Aku ingin
kau kembali lagi bersamaku. Aku ingin menuruti janjiku untuk mendaki gunung
bersamamu. Bahkan sekarang aku telah bersyukur.” Wanita itu menangis begitu
dalam. Menyesal.
Aku pun tersadar. Wanita itu adalah
Khaira, sahabatku dahulu ketika SMA. Aku meninggalkannya dan tak pernah
mengabarinya setelah wisuda karena suatu alasan. Aku tak pernah melihat lagi
Khaira setelah 3 tahun lamanya. Kini, ia menjengukku dan tulus meminta maaf
kepadaku. Aku sangat ingin meredam tangisnya, memeluknya, dan mendekapnya,
bahkan ditengah derasnya hujan dan dinginnya malam. Namun, apa yang bisa kulakukan
? Untuk sekadar memegangnya pun aku tak bisa. Wisuda beberapa tahun lalu adalah
pertemuan terakhirku dengannya, sebelum aku mendaki dan terperosok ke dalam
jurang saat menyelamatkan orang yang sangat mirip dengannya. Nyawaku pun tak terselamatkan.
Tak ada yang kutinggalkan untuknya selain kata rindu dan secarik kertas usang.
Aku tersenyum. Selamat tinggal untuk selama-lamanya Khaira. Sekarang aku bisa
hidup tenang di alam sana.